Monday, May 26, 2008

Kebiasaan Berganti-ganti Pasangan

Hubungan seksual sejenis yang berganti-ganti pasangan menjadi ciri perilaku homo. Dalam hubungan perilaku homo yang biasa berganti-ganti pasangan, memang di kalangan heteroseksual kebiasaan berganti-ganti pasangan dan perselingkuhan juga banyak terjadi tetapi masyarakat umum melihatnya sebagai penyakit sosial daripada kewajaran, tetapi praktek berganti-ganti pasangan di kalangan homo sudah melekat dalam identitas homo itu sendiri dan dilakukan dalam intensitas tinggi jauh di atas perselingkuhan heteroseksual.

Wim yang perkawinan homonya dengan Philip diliput majalah Gatra mengatakan, bahwa: "Dunia gay itu dunia yang gonta-ganti pasangan." (Gatra, 4 Oktober 2003, h.27). Bell & Weinberg dalam studinya `Homosexualities' menyebut sepertiga gay mempunyai lebih dari 1000 pasangan selama hidup mereka. Pasangan tetap dibawah 10%, dan mereka yang kelihatannya stabil cenderung tetap berganti-ganti pasangan dan tidak mempertahankan monogami. Angka ini mirip yang dikemukakan `Gay Indonesia' berikut: "Kesetiaan memang sesuatu yang amat langka di dunia gay. Betapa tidak? Hampir 95% kaum gay pernah melecehkan sebuah kesetiaan. Diakui atau tidak, hal itulah yang terjadi selama ini. Walaupun hal ini belum pernah didukung oleh suatu penelitian yang akurat, tetapi dari pengalaman kita masing-masing, mungkin dari teman, partner kita atau bahkan diri kita sendiri, kita tidak asing dengan pelecehan kesetiaan." (Gaya Nusantara no.23, Oktober 1993, h.3).

Data yang sama dikemukakan `The Gay Agenda' yang dikeluarkan Christian Media Center di California yang anggotanya adalah para mantan homo yang telah bertobat, menyebutkan: "Studi-studi menunjukkan bahwa pelaku gay berganti pasangan seksual sebanyak 20 sampai 106 pasangan setiap tahun, dan rata-rata pelaku homoseksual mempunyai 300 sampai 500 pasangan seksual selama hidup mereka."
Naek L. Tobing menyebutkan: "Dari penelitian Marschal Sagir dan Eli Robins di Amerika ternyata lamanya hubungan cinta homoseks pada umumnya dapat berlangsung hanya 1-3 tahun. Hubungan homoseks yang paling lama yang pernah ditemui ialah selama 6 tahun." (Perilaku Seksual dan AIDS, h.3).

McWhurter dan Mattison, keduanya Gay, dalam tulisan mereka `The Gay People' menyebut bahwa dari 100 pasangan gay yang menunjukkan gejala stabil yang diteliti, tidak satu pasangan pun yang tetap dengan pasangan semula setelah 5 tahun. Mereka mengatakan: "Menjadi gay ialah menjadi tidak monogami dan monogami merupakan suatu keadaan yang tidak alami yang coba diraih pria gay karena rasa takut dan kebencian terhadap homo sudah mendarah daging." Lebih lagi dari itu, Naek L. Tobing dalam tulisannya yang sama juga menyebut, bahwa: "Sebagian besar dari mereka pada saat terikat dengan pasangannya, juga melakukan kontak seksual dengan orang lain. Hal ini dapat terjadi misalnya di klub-klub homo, di restoran,
sehingga kadang-kadang beberapa orang homoseks bahkan tidak mengingat dengan siapa ia melakukan kontak seksual satu atau dua jam kemudian.


Putusnya hubungan antara homoseks pada umumnya, karena merasakan hubungan yang sudah ada itu telah dingin atau membosankan. Akibatnya mereka tertarik pada orang yang baru. Kinsey juga mendapatkan, bahwa umumnya homoseks merasakan getaran seksual yang
hebat dengan orang yang baru, betapa pun baiknya hubungan homoseks sulit untuk berlangsung seumur hidup. Karena seringnya bertukar-tukar pasangan ini, kesempatan untuk mendapatkan penyakit AIDS sangat besar pada orang homoseks." Terlebih lagi, karena ketidak setiaan timbul dari kedua belah pihak, maka sering pihak yang ditinggalkan akan mengalami luka kejiwaan.
Karena seringnya terjadi gonta-ganti pasangan, maka pelaku homo cenderung mengalami trauma kejiwaan yang dalam. Kecemburuan dan pertengkaran yang keras sering terjadi pada pasangan homoseksual, bahkan sering terjadinya penganiayaan fisik sampai pembunuhan
sebagai puncaknya, kondisi yang terlihat pada kasus di awal seri tulisan ini.Dari kondisi di atas kita dapat melihat bahwa pelaku homo bukanlah mereka yang mengalami kondisi seksualnya sebagai kewajaran sebagai kodrat alami kalau memang ada, sebab mereka umumnya mengalami trauma dan konflik batin yang berkepanjangan. Di sini kita perlu melihat
apakah dukungan orang-orang yang setuju itu membantu memecahkan masalah mereka ataukah justru menjerumuskan mereka makin dalam ke dalam pergumulan batin yang tidak akan selesai? Ataukah kita lebih baik membantu mereka agar mampu melepaskan diri dari masalah mereka sekalipun itu berarti mereka harus mengorbankan dorongan nafsu yang
memenjarakan jiwa mereka itu?

Dengan kenyataan adanya situasi traumatis yang dialami para pelaku gay dan lesbian demikian, maka sebenarnya mereka membutuhkan perhatian sosial-psikologis dan lebih-lebih spiritual, lebih dari sekedar perhatian fisik yang mendorong mereka ke dalam kehidupan homoseksual.

Oleh karena itu, dalam menghadapi pelaku homo, kita harus menjauhi membenci mereka (homofobia), tetapi sikap terbaik adalah memberikan perhatian dan usaha yang berhati-hati agar tidak mengusik atau menambah beban trauma yang sudah tertimbun sejak lama. Di sini
juga penting untuk diingat bahwa toleransi perilaku fisik mereka belum berarti membantu mereka lepas dari masalah yang diidap mereka. Apalagi kalau diingat bahwa tidak semua yang mengalami kecenderungan homoseksual melakukan hubungan seksual sesama jenis.

1 comments:

tulisan anda cukup akurat.saya salut.apa yang ada pada tulis itu sedikit banyanya saya lihat dan alami

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More