Sunday, May 4, 2008

Pertobatan SAMUEL

Bertobat dari Kehidupan GAY

Kesaksian kisah hidup Samuel Wattimena, perancang busana terkenal di Indonesia, yang bertobat meninggalkan kehidupan gay yang selama 24 tahun dia jalani. Kisah ini dimuat di harian Kompas tanggal 18 Maret 2001.

BAGAIMANA kehidupan pribadi Anda?
Sejak dua tahun lalu saya sudah membuat kesaksian di gereja-gereja. Saya melakukannya tidak dengan mengatas-namakan kelompok gay, tetapi berdasarkan pengalaman pribadi saya.

Selama 24 tahun saya melakukan kehidupan homoseks dengan wild, beyond your imagination. Tetapi, dalam keliaran itu ternyata saya tetap merasa kesepian. Lima malam dalam seminggu saya harus dapat seks. Setelah tahap itu kan tidak bisa melakukan secara reguler karena mati rasa, ya harus ditambah dengan obat, dengan alkohol, dan saya beli (pemuasan hubungan seks). Ketika saya mulai beli, saya jadi jahat. Kalau saya tidak bisa bayar, saya bayar dengan memberi kesempatan anak-anak muda itu untuk masuk ke lingkungan saya yang beyond their touch. Saya suka yang muda, kulitnya lebih kencang.

Tiap malam saya harus dengan orang yang berbeda. Saya makin liar karena saya tidak melihat ada kesetiaan. Di dunia gay rasa sakit ini menjadi dua kali, karena sudah tersisih masih dikhianati.

Saya bukan tidak ingin berhenti, tetapi berulang kali kecebur lagi. Saya mulai berhubungan seksual pada usia 15 tahun, kelas 2 atau 3 SMP. Waktu mulai saya sudah ingin berhenti. Akan tetapi, ketika mau berhenti, saya mendapat lingkungan yang membuat saya merasa aman, karena diterima.

Saya pernah mau berhenti karena saya berpikir apa yang saya lakukan adalah dosa, karena saya tiap minggu ke gereja. Tetapi, saya kok bisa-bisanya berpikir, siapa sih yang tidak melakukan dosa. Mereka yang heteroseksual juga berbuat dosa.

Tidak takut AIDS?
Tahun 1980-an ketika Rock Hudson mati, saya mulai takut AIDS. Tetapi, kok kepikiran lagi bahwa AIDS bukan masalah gay, tetapi masalah seks yang aman. Pernah juga saya mau kawin dengan seorang perempuan. Ketika pacaran dengan mereka saya berhenti pacaran dengan laki-laki. Tetapi, keluarga mengatakan apa saya bisa menjadi suami yang baik, dan saya tidak menyalahkan mereka. Saya juga pernah mau berhenti dengan alasan takut bisnis tidak jalan karena citra gay. Tetapi, kok ternyata bisnis saya semua jalan bagus.

Saya akhirnya capai, dan sampai pada kesimpulan menerima diri saya adalah gay. Dan, saya mengartikan ajaran agama bahwa manusia memikul salibnya sendiri dengan berpikir salib saya adalah menjadi gay.

Sampai akhirnya saya menengok teman saya mendiang Didi Mirhad yang sakit kurus dan diare di rumah sakit. Saya menengok dia di rumah sakit dan saya melihat dia kena AIDS. Saya mendapat informasi yang membenarkan dugaan saya dari dokter yang menangani Didi.

Saya dan seorang teman membawa Didi ke Pendeta Daniel Henubau untuk menyiapkan mental Didi. Kalau saya pikir sekarang, kejadian saat itu aneh. Saya di ruang lain dan menonton teve, sementara Didi di ruang lain, tetapi kok suara si pendeta kedengaran sampai ke kuping saya. Sepertinya ucapan si pendeta ditujukan ke saya.

Yang dikatakan Pendeta Daniel, intinya firman Tuhan yang semuanya mengenai kasih. Setelah itu saya jadi seperti haus, setiap kali mengantar Didi ingin juga mendengar. Tetapi, saya tidak berminat mendengar sama-sama karena saya trauma. Setiap kali ketemu pendeta (yang lain), setiap kali membuka Alkitab bagian yang begitu mengancam. Sepertinya saya tidak pernah mencoba (untuk ke luar dari kehidupan gay). Sampai saya berdebat, kok dia enak saja menjudge saya.

Akhirnya saya putuskan ikut gerejanya Pendeta Daniel. Di sana ada altar call yaitu jemaat maju ke depan, si pendeta mendekatkan tangannya ke dahi orang itu dan orang itu mental. Saya sudah sering melihat yang seperti ini dan biasanya saya segera meninggalkan acara itu karena tidak menganggap serius. Tetapi, kali itu saya kok mau maju ke depan. Begitu dia angkat tangan, belum sampai ke dekat dahi, saya sudah mental. Dan begitu jatuh, kok seperti ada slide muncul di kepala saya. Semua yang jelek: amarah, kenajisan, kebencian, yang saya simpan di dalam batin, keluar seperti slide. Saya menangis dengan keras, sadar saya menangis di depan orang tetapi saya tidak bisa menghentikan tangis saya. Ketika mencoba bangun, sekali lagi saya mental.

Akhirnya saya percaya bahwa waktu Tuhan bukan waktu kita. Cara Tuhan bukan cara manusia. Saya sudah coba dan saya gagal terus, sampai tiba- tiba saya mendapat kesempatan untuk lurus. Kalau ada yang tanya bagaimana saya bisa seperti sekarang, saya hanya bisa bilang dekatkan diri pada Tuhan, dengan cara kita masing-masing.

Anda marah kepada Ayah?
Saya lima bersaudara, tiga lelaki, perempuan, lalu saya. Mungkin ayah saya ingin punya anak perempuan lagi untuk menemani kakak perempuan yang menjadi tomboy karena tiga kakaknya laki-laki. Saya benci sama ayah karena selalu dibelikan boneka perempuan. Ketika SMP saya sering dikatakan banci. Ketika kecil saya suka pakai lipstik dan sepatu ibu, menyanyi dan ditepuki. Saya punya fotonya.

Walaupun kemudian saya tahu gay banyak penyebabnya, tidak sesederhana seperti saya duga dengan apa yang ayah lakukan, tetapi saya tetap merasa keadaan saya ada hubungannya dengan perlakuan terhadap saya ketika kecil. Tiga bulan menjelang ayah meninggal tahun 1990, saya cuma menengok dua kali. Dua tahun setelah ayah meninggal, tiba-tiba saya di Den Haag menangis menyesal karena dendam, tetapi tetap menyalahkan dia. Tetapi, setelah pertobatan dan kesaksian, semua dendam itu hilang.

Anda tidak pernah sampaikan keadaan Anda kepada orangtua?
Kami adalah keluarga yang tidak pernah berantem. Orangtua dan kakak saya, tidak mau berkonfrontasi dengan saya dan juga dengan diri mereka sendiri. Mereka mencoba tidak melihat hal itu. Mereka membiarkan saya berada pada zona kenyamanan. Jadi berbuat baik supaya tidak mengganggu keharmonisan, kenyamanan, belum tentu benar.

Ini yang saya sampaikan kepada orang-orang bahwa anak yang gay tidak boleh dimusuhi, tetapi mereka diberikan apa kebenaran dalam hidup. Karena saya dibiarkan dalam kenyamanan itu, saya tidak pernah diberikan pilihan misalnya untuk main bola. Walaupun tidak semua anak yang dari kecil suka main masak-masakan jadi gay.

Kalau saya ditanya, bohong bahwa itu pilihan karena saya merasa kesepian setelah melakukan seks. Dan saya kemudian setelah pertobatan merasa lebih sejahtera.

Apa reaksi setelah Anda membagi pengalaman kepada orang banyak?
Setelah kesaksian, banyak teman-teman gay yang marah karena mereka melihat saya menyepelekan kehidupan gay yang sebenarnya kompleks. Seolah-olah berhenti jadi gay itu seperti membalik telapak tangan.

Saya bilang, saya tidak pernah mengatakan kesaksian saya atas nama kelompok gay tetapi atas pengalaman diri saya sendiri. Saya selalu mengatakan saya merasa sejahtera dengan keadaan saya sekarang dan saya merasa harus membagi ini dengan orang lain.

KEHIDUPAN seksual Anda setelah bertekad meninggalkan kehidupan gay?
Saya menangani hasrat dengan doa. Doing-nya sudah tidak, tetapi orientasinya harus diubah perlahan-lahan. Saya menjalani kehidupan gay selama 24 tahun.

Selama dua tahun pernah beberapa kali saja melakukan. Tetapi sebelum melakukan, saya berdoa. Bisa terjadi, sudah di tempat tidur, tiba- tiba ada saja yang terjadi sehingga hubungan tidak jadi. Pager (calon pasangan saya) bunyi, sehingga dia harus pergi. Lain kali saya sudah buat perjanjian lewat telepon, kok dia sampai sejam mencari alamat saya enggak ketemu-ketemu. Jadi beberapa kali hampir kecebur, tetapi diselamatkan.

Sempat juga sekali-dua berhubungan lagi, tetapi ketika itu saya tidak berdoa. Karena ketika itu saya mulai sombong, merasa bahwa saya bisa karena diri sendiri.

Pernah berhubungan seks dengan perempuan?
Pernah. Tidak ada cewek yang tidak merasa puas dengan saya. Mungkin karena mereka merasa di-treat dengan berbeda. Saya melakukan dengan banyak cewek, waktu SMA. Makin jarang setelah saya makin gila. Begitu selesai pertobatan, saya melihat cewek kok seperti emosional. Tetapi, sekarang tidak lagi. Surut untuk dua-duanya.

Tidak lagi butuh seks?
Apa sih kebutuhan biologis? Apa seks seminggu dua kali, sekali. Apa? Saya mencoba untuk membiarkan apa yang terjadi, mimpi basah, masturbasi. Tetapi, itu juga bukan jalan keluar untuk saya.

Saya berpikir untuk melakukan perkawinan dan melakukan hidup berkeluarga. Sekarang saya yakin kalau saya menikah itu berarti hal yang terbaik karena segala borok sudah saya buka di atas meja.

Anda melakukan tes HIV?
Tes, dua kali. Untuk ambil putusan melakukan tes, lama sekali. Saya ketika itu berpikir, buat apa tes, kalau tahu kan juga tidak bisa diobati. Tetapi lalu saya berpikir, kalau tahu positif kan bisa hidup untuk standar yang lebih baik. Tes pertama di MMC, seminggu menunggu hasil tes itu seperti nightmare. Ini sebelum pertobatan. Tiga tahun kemudian tes lagi, dan negatif.

Ke depan, apa rencana Anda?
Ingin membina kehidupan keluarga. Karena saya sebenarnya tipe keluarga, dan saya merasa bahwa saya tidak akan merasa sejahtera dengan hidup bersama sesama jenis. Walaupun saya juga tidak mengatakan orang yang hidup sebagai heteroseksual selalu sejahtera. Kesejahteraan itu hanya datang dari Tuhan dan di dalam Tuhan.


Pewawancara: Ninuk Mardiana Pambudy, Maria Hartiningsih, Efix Mulyadi

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More