Sunday, May 4, 2008

Kontroversi Hendy-Mamoto

Jakarta,- Tak banyak perjalanan hidup kaum gay di tanah air berakhir ke jenjang pernikahan. Tapi, pasangan gay Hendy Sahertian dan dr Mamoto berusaha membuktikan bahwa kaum gay bisa hidup normal layaknya suami istri. Bagaimana persiapan mereka yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan di Belanda?

SUDAH tiga tahun lebih ini pasangan gay Hendy Sahertian dan dr Mamoto hidup serumah di kawasan perumahan Jatibening Estate, tepatnya di Jalan Bangau III. Segala pahit getir kehidupan telah mereka rasakan selama tinggal satu atap. Mereka bisa jadi mewakili sebagian kecil dari ribuan gay di tanah air yang bisa menjalani kehidupan idealnya.

Untuk mencari alamat pasangan tersebut tidak terlalu sulit. Cukup bertanya atau menunjukkan ciri-ciri fisik mereka ke sejumlah petugas satuan pengamanan (satpam), tentu, akan ditunjukkan alamatnya. Penampilan mereka memang rada berbeda di banding sejumlah tetangganya. Minimal, dalam keseharian, mereka lebih rapi dan trendi dalam berpakaian.

Toh, tetangga Hendy-Mamoto tak banyak yang tahu bahwa mereka adalah gay. Keduanya memang lebih dikenal sebagai aktivis LSM Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) yang bergerak di bidang kampanye pencegahan penyakit seksual dam HIV/AIDS di kalangan kaum homoseksual. Rumah yang mereka tempati tak lain markas yayasan tersebut.

Sehari-hari, Hendy bertanggung jawab penuh atas operasional YPKN. Mamoto sendiri kini tidak terlalu aktif di yayasan tersebut. Aktivitasnya lebih tercurah di LSM Family Health Internasional (FHI) yang bermarkas di kawasan Jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat. FHI sendiri bergerak di bidang garapan yang sama dengan YPKN berskala nasional.

Bagi Hendy-Mamoto, YPKN merupakan segala-galanya. Suka duka membesarkan yayasan tersebut sungguh terekam kuat di benak mereka. Maklum, kisah kedekatan mereka, bahkan sampai keputusan akan menikah di Belanda, berawal dari yayasan tersebut. Mereka resmi bertunangan juga bertepatan dengan tanggal berdirinya yayasan tersebut, 7 November 1999.

''Aku sebenarnya mengenal Mamoto sekitar pertengahan 1998. Hanya, aku menjadi lebih dekat dan tahu betapa kuatnya perasaan saling suka ya setelah sama-sama aktif di yayasan,'' aku Hendy yang kemarin tidak didampingi Mamoto. Mamoto yang kelahiran Medan itu beberapa hari ini --sampai 20 September-- sedang bertugas mengadakan pelatihan di Palembang.

Ketika itu mereka saling berkenalan di diskotek kawasan Jakarta Pusat. Menariknya, di awal perkenalan, Hendy menganggap Mamoto tak lebih sekedar teman sesama gay. Sebaliknya Mamoto mempunyai perasaan berbeda. Dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang menyandang gelar spesialis kesehatan reproduksi itu menggebu-gebu ingin memacari Hendy, bahkan hidup serumah.

Toh, selama berpekan-pekan Hendy tetap menganggap biasa. Janji kencan dilayani sebatas hal yang biasa umumnya sesama gay. Hendy yang kelahiran Cirebon itu baru merasakan betapa kuat pancaran cinta Mamoto saat dikenalkan dengan ayah ibu Mamoto saat bertamu di rumahnya di Medan. Jamaknya dalam tradisi di tanah air, perilaku gay adalah hal yang tabu. Seorang gay biasanya merahasiakan status gaynya di kalangan keluarganya

''Tapi, Mamoto punya nyali. Dia berani membuka front dengan kedua ortunya. Saat itu saya bisa memahami keseriusan Hendy,'' jelas Hendy. Yang juga membuat hati Hendy merasa trenyuh adalah keberanian Mamoto menyatakan bahwa Hendy adalah satu-satunya pasangan yang disukainya di depan ayah ibunya. Tentu saja, ini merupakan pengalaman hidup baru selama bertahun-tahun berpacaran sesama gay.

Saat itu, Hendy tidak mengira pasangan gaynya akan memproklamasikan pilihan hidupnya. Sebab, awalnya Mamoto mengajak Hendy ke rumah ortunya untuk menghadiri undangan ultah adik bungsu Mamoto. Sesampai di Medan, semua tak sesuai rencana. Mamoto justru membuat pengakuan mengejutkan soal keinginannya berumah tangga dengan sesama pria. Yang lebih mengejutkan lagi, sikap itu ditunjukkan menjelang Mamoto dijodohkan dengan seorang gadis pilihan ortunya.

Hendy sendiri juga memperoleh perlakuan serupa dari kedua orang tuanya di Cirebon. Suatu saat, Hendy mengungkapkan keinginannya untuk berumah tangga dengan Mamoto. Tapi, kejujuran Hendy justru disikapi lain oleh kedua ortunya. ''Saat itu saya langsung diusir. Dan, selama tiga tahun ini saya tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua,'' kata anak bungsu dari tiga bersaudara ini. Belakangan ada titik terang setelah hati ayah ibu Hendy mulai melunak dan mau menerima pilihan hidup anak bungsunya.

Baik Mamoto maupun Hendy terbilang pasangan gay yang ideal. Keduanya saling memuji keistimewaan karakter masing-masing. Rasa saling menyayanginya jauh mengalahkan kekaguman terhadap fisik yang mereka miliki. Keduanya ingin serius membina biduk rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Namun, mereka menyadari bahwa sistem hukum perkawinan di Indonesia tidak memungkinkan perkawinan antar jenis kelamin yang sama. Jalan keluarnya mereka menyiapkan pencatatan perkawinannya di Belanda, sekaligus menetap hidup di sana. (jpnn)
AGUS MUTTAQIN, Jakarta; Pontianak Post, Kamis, 18 September 2003

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More